Minggu, 16 Desember 2012

Diklat PKG dan Harapan Peningkatan Kualitas GPAIS


Pendidikan agama, termasuk Agama Islam di sekolah kadang tak tersentuh oleh pembinaan-pembinaan secara struktural. Hal ini terjadi karena di tingkat Unit Pelaksana Teknis Pendidikan setingkat kecamatan tidak ada pengawas Pendidikan Agama Islam. Sehingga ketika ada pengawas TK/SD ke sekolah seakan-akan guru agama tidak termotivasi karena keberadaan pengawas bukan secara khusus menangani pendidian agama di sekolah.
Pejabat pembina Pendidikan Agama Islam secara khusus sebenarnya di tingkat kecamatan sudah ada yaitu PPAI di bawah kementerian agama kabupaten. Namun kenyataan berbicara lain sebab keberadaan PPAI kadang belum bisa menjangkau ke sekolah-sekolah sebab beban kepengawasan yang lebih utama adalah ada di wilayah madrasah, hal ini menyebabkan pembinaan pendidikan Agama Islam di sekolah lagi-lagi masih belum intensif.
Permasalahan di diperpanjang lagi dengan minimnya pendidikan dan latihan secara khusus bagi GPAIS yang diselenggarakan oleh dinas pendidikan atau mapenda. Hal ini yang kemudian membuat sebagian masyarakat berasumsi bahwa pendidikan agama di sekolah masih terkesan dimarginalkan.
Terobosan dirjen PAIS melalui LPTK atau perguruan tinggi dengan menyelenggarakan Diklat PKG pada dua tahun terakhir agaknya cukup mengobati "ketertinggalan" guru PAI  dalam mengikuti perkembangan dunia pendidikan. Mereka sudah mulai terbuka wawasan dan cakrawala pandang terhadap dinamika pembelajaran khususnya PAI. Diklat PKG yang materinya terdapat pengembangan media berbasis ICT cukup menggugah guru-guru PAI untuk lebih memacu diri mengikuti perkembangan dunia teknologi untuk pembelajaran.
Harapan kami dan insyaAllah juga menjadi harapan seluruh guru PAI di sekolah kegiatan Diklat PKG ini terus berjalan setiap tahunya dan dapat menjangkau seluruh GPAIS secara merata. Amiin
DILKAT PKG  YESSSSS..... !!!

Sabtu, 15 Desember 2012

Nasib GTT harus kemana ?


Undang-undang guru dan dosen tahun 2005 memberi angin segar bagi kesejahteraan para pahlawan tanpa tanda jasa di negeri ini. Namun demikian masih ada sebagian dari mereka yang belum bisa menikmatinya padahal secara de facto mereka sebenarnya layak untuk menerimanya.
GTT adalah salah satu dari status guru yang masih belum bisa menikmati kebijakan pemberian tunjangan profesi ini.
Pada akhir tahun 2011 ada kenyataan menggembirakan bagi sebagian dari GTT di kabupaten Gresik, melalui LPTK IAIN Sunan Ampel mereka bisa mengikuti PLPG. Namun kegembiraan itu tidak berlanjut setelah mereka dinyatakan lulus dan menrima NRG, pasalnya mereka tidak diperkenankan mengikuti pemberkasan pencairan. Pertanyaanya kemudian, kalau memang keberadaan mereka tidak dianggap mengapa masih tetap eksis hinga sekarang, dan jika jelas-jelas mereka masih dibutuhnya tenaga dan pikirannya sudah seharusnya mereka dipikirnya tentang kesejahteraanya bukan malah dipinggirkan dengan statusnya yang masih GTT. Semoga para pemangku kebijakan melihat kenyataan ini dengan jernih, amiiin.

Minggu, 18 Maret 2012

ROK MINI DI SENAYAN


Di senayan ada sedikit “geger”. Kali ini bukan soal uang pesangon kunker atau uang saku reses. Tetapi soal tata tertib pakaian wanita yang berada di gedung rakyat ini. Dalam tata tertib itu mengatur siapa saja yang berada di gedung dewan baik itu anggoat dewan sendiri atau orang-orang yang berkepentingan dengan anggota dewan harus memakai rok panjang untuk perempuan.
Pro kontra pun bermunculan, baik dari kalangan internal dewan maupun masyarakat. Mereka menyayangkan mengapa DPR mengurusi hal-hal yang dianggapnya kurang urgen. Unjuk rasa LSM perempuan di depan istana juga menyuarakan urgensi larangan tersebut. Di antara isi tulisan yang di bawa pengunjuk rasa adalah “Bukan salah rok mini tapi otakmu yang mini”. Dari kalangan yang pro terhadap tata tertib ini mengacu pada adat ketimuran tentang mengenakan pakaian di tempat-tempat resmi termasuk gedung dewan yang terhormat.
Terlepas dari alasan mereka yang pro dan kontra tersebut, kami mengajak kepada kaum hawa yang gemar mengenakan rok mini. Sebenarnya mengenakan rok mini tidak salah dan tidak ada  larangan agama asal tahu tempat dan apa motivasinya.
Mengenakan rok mini jika di dalam rumah dan hanya dilihat oleh anggota keluarga (suami dan anak-anak) maka tidak ada salah dan dosa tetapi jika dipakai di luar rumah tentu itu membawa implikasi hukum bagi pemakainya dari segi agama karena aurat perempuan adalah sekujur tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
 Motivasi para kaum hawa memakai rok mini juga perlu dikaji peruntukannya. Kalau alasan gerah dan cuaca panas sehinga memakai pakaian yang serba mini tentu sudah terjawab sebab sekarang di semua ruangan sudah tersedia AC dan bahkan di mobil pun serba “cool”. Kalau alasan modis sekarang banyak designer pakaian yang masih mengutamakan kesopanan dan menutup aurat. Kalau alasan pakai rok mini itu adalah hak setiap orang, maka anak SD pun sudah diajari bahwa penggunaan hak seseorang tidak boleh mengganggu hak orang lain. Kalau diteruskan pertanyaanya hak orang lain yang mana yang dilanggar oleh si pemakai rok mini. Jawabnya adalah bahwa dosa itu ada yang bisa “menularkan”  dosa ke orang lain. Contohnya dosa orang yang pakai rok mini akan membawa efek dosa pada orang yang melihatnya. Dan tidak mungkin satu sama lain di antara kita ketika berinteraksi tanpa saling berpandangan.
Semoga menjadi renungan kita semua.amiin.

Sabtu, 14 Januari 2012

Budaya Cheating: Penyakit Dalam Dunia Pendidikan

Cheating merupakan bahaya laten dalam dunia pendidikan. Meskipun demikian tidak banyak orang yang peduli terhadap masalah ini, bahkan menyepelekannya. Padahal cheating dapat menjadi tumor ganas yang akan menghabiskan moralitas generasi muda Indonesia. Cheating merupakan soft problem yang mengakar pada civitas akademika yang luput dari perhatian praktisi pendidikan kita. Budaya cheating akan melahirkan generasi-generasi muda yang tidak tahan uji, generasi-generasi prematur yang menginginkan segalanya dengan instan tanpa harus merasakan arti sebuah perjuangan. Penyakit cheating harus segera diobati agar dampaknya tidak bertambah besar lagi. Teknologi Pendidikan adalah suatu disiplin ilmu yang bertugas mengkaji masalah-masalah pendidikan, menganalisis, dan memecahkannya. Teknologi Pendidikan sangat berperan penting dalam menemukan solusi cerdas guna menyelamatkan pendidikan dari budaya cheating. Apa itu Cheating ? Abdullah Alhadza dalam Bower (1964) mendefinisikan cheating sebagai “manifestation of using illigitimate means to achieve a legitimate end (achieve academic success or avoid academic failure),” maksudnya cheating adalah perbuatan yang menggunakan cara-cara yang tidak sah untuk tujuan yang sah/terhormat yaitu mendapatkan keberhasilan akademis atau menghindari kegagalan akademis. Selanjutnya Abdullah Alhadza dalam Deighton (1971) menyatakan “Cheating is attempt an individuas makes to attain success by unfair methods”. Maksudnya, cheating adalah upaya yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan keberhasilan dengan cara-cara yang tidak fair (tidak jujur). Dalam konteks pendidikan atau sekolah, beberapa perbuatan yang termasuk dalam kategori cheating antara lain adalah meniru pekerjaan teman, bertanya langsung pada teman ketika sedang mengerjakan tes/ujian, membawa catatan pada kertas, pada anggota badan atau pada pakaian masuk ke ruang ujian, menerima dropping jawaban dari pihak luar, mencari bocoran soal, arisan (saling tukar) mengerjakan tugas dengan teman, menyuruh atau meminta bantuan orang lain dalam menyelesaikan tugas ujian di kelas atau tugas penulisan paper dan take home test. Dalam perkembangan mutakhir cheating dapat ditemukan dalam bentuk perjokian seperti kasus yang sering terjadi dalam UAN, memberi lilin atau pelumas kepada lembaran jawaban komputer atau menebarkan atom magnit dengan maksud agar mesin scanner komputer dapat terkecoh ketika membaca lembar jawaban sehingga gagal mendeteksi jawaban yang salah atau menganggap semua jawaban benar, dan banyak lagi cara-cara yang sifatnya spekulatif maupun rasional. Dalam tingkatan yang lebih intelek, sering kita dengar plagiat karya ilmiah seperti dalam wujud membajak hasil penelitian orang lain, menyalin skripsi, tes, ataupun desertasi orang lain dan mengajukannya dalam ujian sebagai karyanya sendiri. Ternyata praktik cheating banyak macamnya, dimulai dari bentuk yang sederhana sampai kepada bentuk yang canggih. Dari sesuatu yang sangat prohibited sampai pada bentuk yang cenderung premissible. Teknik cheating tampaknya mengikuti pula perkembangan teknologi, artinya semakin canggih teknologi yang dilibatkan dalam pendidikan semakin canggih pula bentuk cheating yang bakal menyertainya. Bervariasi dan beragamnya bentuk perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai cheating maka sekilas dapat diduga bahwa hampir semua pelajar pernah melakukan cheating meskipun mungkin wujudnya sangat sederhana dan sudah dalam kategori permisseble atau dapat ditolerir. Meskipun demikian dapat dikatakan bahwa apapun bentuknya, dengan cara sederhana ataupun dengan cara yang canggih, dari sesuatu yang sangat tercela sampai kepada yang mungkin dapat ditolerir, cheating tetap dianggap oleh masyarakat umum sebagai perbuatan ketidakjujuran, perbuatan curang yang bertentangan dengan moral dan etika serta tercela untuk dilakukan oleh seseorang yang terpelajar. Berdasarkan uraian di atas maka yang dimaksud dengan cheating dalam tulisan ini adalah segala perbuatan atau trik-trik yang tidak jujur, perilaku tidak terpuji atau perbuatan curang yang dilakukan oleh seseorang untuk mencapai keberhasilan dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik terutama yang terkait dengan evaluasi/ujian hasil belajar. Dampak Negatif Cheating Telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya bahwa cheating merupakan budaya amoral yang dianggap wajar oleh pelaku-pelaku pendidikan. Sebagian besar dari kita bahkan pernah melakukannya. Dampak negatif cheating sesungguhnya sangat suit dilihat secara sepintas dalam waktu yang singkat. Cheating secara perlahan tapi pasti akan menggerogoti kemandirian peserta didik. Pembiasaan memperolehs sesuatu dengan mudah dan cepat tanpa harus bersusah payah akan menjadi kebiasaan yang ertanam dalam diri peserta didik. Lambat laun ini akan menjadi budaya yang berakar dalam kehidupannya dan sangat susah untuk dilepaskan. Dampak negatif cheating selain pada diri pribadi cheater (pencontek) juga dapat mengganggu stabilitas dunia pendidikan. Hasil-hasil evalusi menjadi tidak dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya untuk selanjutnya keputusan yang akan diambil pastilah tidak akan tepat. Dalam tinjauan kurikulum, tentulah budaya cheating ini akan mengaburkan SKL. Dunia pendidikan akan menjadi semu dan hanya formalitas belaka, begitu besarnya dampak negatif cheating ini. Upaya Penanggulangan Cheating Abdullah Alhadza (2001) menjelaskan bahwa ada empat faktor yang menjadi penyebab cheating yaitu: (1) Faktor individual atau pribadi dari cheater, 2) faktor lingkungan atau pengaruh kelompok, (3) faktor sistem evaluasi dan (4) faktor guru/dosen atau penilai. Berkenaan dengan asas moral di atas, dapat ditegaskan bahwa yang terpenting dalam pendidikan moral adalah bagaimana menciptakan faktor kondisional yang dapat mengundang dan memfasilitasi seseorang untuk selalu berbuat secara moral dalam ujian (tidak melakukan cheating) maka caranya adalah mengkondisikan keempat faktor di atas ke arah yang mendukung, yaitu sebagai berikut:
  1. Faktor pribadi dari cheater
    • Bangkitkan rasa percaya diri
    • Arahkan self consept mereka ke arah yang lebih proporsional
    • Biasakan mereka berpikir lebih realistis dan tidak ambisius
    • Tumbuhkan kesadaran hati nurani (Das Uber Ich) yang mampu mengontrol naluri beserta desakan logis rasionalitas jangka pendek yang bermuara kepada perilakunya.
    • Faktor Lingkungan dan Kelompok.
    • Ciptakan kesadaran disiplin dan kode etik kelompok yang sarat dengan pertimbangan moral.
  2. Faktor Sistem Evaluasi
    • Buat instrumen evaluasi yang valid dan reliable (yang tepat dan tetap)
    • Terapkan cara pemberian skor yang benar-benar objektif
    • Lakukan pengawasan yang ketat
    • Bentuk soal disesuaikan dengan perkembangan kematangan peserta didik dan dengan mempertimbangkan prinsip paedagogy serta prinsip andragogy.
  3. Faktor Guru/ Dosen
    • Berlaku objektif dan terbuka dalam pemberian nilai.
    • Bersikap rasional dan tidak melakukan cheating dalam memberikan tugas ujian/tes.
    • Tunjukkan keteladanan dalam perilaku moral.
    • Berikan umpan balik atas setiap penugasan.
Alim Sumarno, M.Pd

Jumat, 06 Januari 2012

Kisi-kisi Ujian Nasional 2011-2012

Ujian Akhir Sekolah/Madrasah dan Ujian Nasional sudah diambang pintu, terutama bagi siswa-siswi tingkat SMA/MA/SMK yang biasanya pelaksanaannya lebih awal. Terlepas dari masih adanya pro- kontra tentang pelaksanaan UN, yang jelas pemerintah masih mempertahankan kebiajakan ini. Lembaga hanya bisa merespon dengan berbagai bentuk baik yang bernuansa positif ataupun yang bernuansa negatif.
Begitu juga dengan persiapan di pihak siswa dan orang tua yang sudah mulai melakukan berbagai upaya bagaimana bisanya lulus dalam UN. Untuk itu kami berbagi dalam blog ini kisi-kisi UN untuk tingkat SD/MI sampai SMA/MA/SMK semoga bermanfaat.

Kisi-kisi UN 2011-2012

Permen-No-59-tahun-2011-ttg-UN.