Kamis, 26 November 2009

Korban atau dikorbankan

Hari Raya Idul Adha 2009 bagi bangsa Indonesia merupakan sebuah momentum koreksi diri. Di tengah kesulitan bangsa yang tengah kita hadapi saat ini tentu sangat dibutuhkan jiwa-jiwa pengorbanan yang tinggi. Jiwa pengorbanan yang ditunjukkan oleh Ismail AS. saat itu adalah sebuah referensi bagi semua umat di segala zamannya. Pengorbanan tidak terbatas pada harta atau benda bahkan jiwa raga pun direlakan.
Bentuk pengorbanan apa yang relevan untuk saat-saat sekarang ini ? Indonesia yang mengalami kesulitan di berbagai dimensi kehidupan sangat membutuhkan pemimpin yang mempunyai jiwa-jiwa pengorbanan. Mendahulukan dan mengedepankan suara rakyat serta kepentingan-kepentingan yang berpihak pada rakyat dari pada menuruti segelintir orang yang dianggapnya memberi kepuasaan materi sesaat.
Kita mendambakan pengorbanan para pemimpin dan bukan melihat rakyat yang menjadi korban. Mengapa harus para pedagang kaki lima yang menjadi korban para petinggi daerah dengan dalih penataan kota ? mengapa harus para nasabah yang dengan telaten mengumpulkan uang tabungan yang menjadi korban para pemilik modal besar. Kapan kita akan melihat para pejabat yang rela menahan lapar terlebih dahulu sebelum rakyatnya kenyang. Masihkah kira mengharap ada pemimpin yang rela tidak memiliki mobil baru demi membangun program yang langsung menyentuh rakyat.
Dari mana jiwa dan semangat rela berkorban itu kita dapatkan ? Bisakah kita mempelajarinya layaknya sebuah disiplin ilmu ? Ada beberapa hal yang perlu dipahami tentang adanya jiwa dan semangat rela berkorban sebagaimana yang ditunjukkan NabiAllah Isma’il as. :
1. Jiwa dan karakter rela berkorban dibentuk dari sebuah usaha orang tua atau para pendahulu mereka. Bagaimana Nabi Ibrahim tak henti-hentinya berdoa demi mendapatkan anak sholeh “Robbii hablii minash sholihiin”. Perilaku kedermawanan dan pengorbanan Nabi Ibrahim tak diragukan lagi. Beliau pernah berkorban untuk memberi makan seluruh makhluk Allah baik yang di daratan atau di lautan. Sehingga tak heran bila “buah” dari semua itu terbentuklah jiwa Ismail as. yang menunjukkan kepatuhan dan semangat pengorbanan yang tinggi.
2. Jiwa dan karakter rela berkorban tidak bisa dipelajari sebagaimana sebuah disiplin ilmu. Bagaimana Ismail yang saat itu masih kecil bisa bersekolah dan mempelajarinya serta mempraktikkannya ? Jawabnya tak ada satu sekolah atau profesor pun yang mampu mencetak pribadi rela berkorban seperti itu. Semuanya berpulang pada nurani yang bersih yang senantiasa mendapat “nur” Illahi sehingga dalam perjalanannya selalu peka terhadap kondisi lingkungan sekitar.
Pada akhirnya penulis berharap pemimpin-pemimpin kita ke depan selalu mendapat bimbingan Illahi sehingga senantiasa mempunyai jiwa dan semangat pengorbanan yang tinggi.